Oleh: Fransisco Rosarians
francisco@tempo.co.id
TEMPO.CO - MANTAN hakim konstitusi Harjono rada “kaget” lantaran terus melaju ke tahap akhir seleksi calon pemimpin Komisi Yudisial. Ia baru memutuskan mendaftar ketika panitia seleksi sudah setengah jalan membuka lowongan. Dokumen persyaratan pun diserahkan menjelang pendaftaran ditutup. “Saya hanya menjalani saja. Tapi ternyata lolos terus,” kata Harjono, pekan lalu.
Alasannya mendaftar sederhana. Ia mendengar belum ada “pendekar hukum” termasyhur yang menyatakan berniat memimpin Komisi Yudisial. Padahal lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini penting untuk mengawasi dan menjaga martabat hakim.
Walau tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai lembaga tinggi negara, seleksi Komisi Yudisial tak begitu diminati. Hingga penutupan, hanya ada 81 pendaftar. Itu pun kebanyakan nama-nama yang belum diketahui reputasinya. Bandingkan dengan peminat pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang mencapai 609 orang.
Bersama 17 calon lain, Harjono dianggap panitia seleksi calon pemimpin Komisi Yudisial memenuhi syarat masuk ke babak akhir. Dari 18 kandidat, panitia seleksi bakal memilih tujuh calon untuk diteruskan kepada presiden. Selanjutnya, presiden meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan tujuh pemimpin Komisi.
Komisioner yang kelak terpilih bakal menghadapi tantangan berat. Saat ini Komisi terancam makin tak bertaji dan, bahkan, di ambang tinggal nama. Dalam waktu dekat, aktivitas lembaga bakal timpang apabila dua komisionernya, Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri, masuk tahanan. Walau hanya mengomentari putusan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, keduanya dijadikan tersangka oleh polisi atas aduan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, yang merasa namanya tercemar.
Ikatan Hakim Indonesia juga berusaha memangkas kewenangan Komisi dalam menyeleksi calon hakim baru—untuk ditempatkan di pengadilan negeri—dengan cara mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Ikatan Hakim merasa bahwa seleksi calon hakim merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Mereka membuat argumen rapuh: perekrutan calon hakim oleh Komisi membuat hakim tak independen. Di sisi lain, seleksi calon hakim agung oleh Komisi tak dipersoalkan.
Di luar itu, perseteruan Komisi dengan Mahkamah Agung tak juga mereda. Rekomendasi hukuman enam bulan tak menangani perkara bagi Sarpin Rizaldi dari Komisi sampai saat ini tak dilaksanakan Mahkamah. Seperti dalam perkara hakim lainnya, Komisi hanya bisa merekomendasikan hukuman. Pelaksanaannya tergantung Mahkamah.
Selanjutnya >> Pekerjaan rumah komisioner terpilih...